Mengintai Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa

5/18/15
Memasuki era Orde Baru, Cina kembali mendapatkan angin segar dalam menumbuhkan kapitalisme. Indonesia mulai memikirkan pembangunan dan hal ini dimanfaatkan oleh Cina untuk menjadi mitra pemerintah untuk melakukan pembangunan fisik maupun sektor perdagangan dan ekonomi. Bisa dikatakan Cina Perantauan merupakan golongan yang paling terlibat dalam sektor perekonomian sehingga mendapatkan banyak keuntungan. Di sisi lain, kebijakan Orde Baru membentuk golongan Cina menjadi “manusia ekonomi” atau secara kasar disebut economic animal 

Di samping kesempatan luar biasa Cina untuk mendominasi sektor perekonomian, mereka mendapatkan tekanan dari kebijakan pemerintah Orde Baru berupa cultural exorcism yang merepresi terhadap unsur-unsur kebudayaan Cina seperti arak-arakan barongsay, upacara upacara penguburan yang mewah, kuburan-kuburan yang monumental, dan sebagainya. Bahkan ada kebijakan “pembauran” kepada golongan Cina, salah satunya dengan memiliki nama non-Cina. Cina juga mendapat tekanan di bidang politik karena tidak diberi kesempatan sama sekali untuk memiliki jabatan seperti menteri atau dalam kepartaian.
 Tekanan tersebut mendorong Cina untuk memaksimalkan satu-satunya kesempatan untuk berekspresi, yaitu di bidang ekonomi. Biaya yang besar dalam upacara-upacara Cina dialihkan menjadi modal ekonomi. Inilah yang membentuk golongan Cina menjadi economic animal pada masa itu. Perkembangan ekonomi di luar negeri pun sangat menguntungkan golongan Cina diIndonesia. Jepang sebagai negara industri yang banyak berinvestasi di Asia Tenggara beraliansi dengan golongan Cina karena merekalah yang banyak berperan dalam ekonomi. Kehadiran Newly Industrialized Countries (NICs) seperti Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan juga membawa keuntungan bagi golongan Cina. Koneksi pengusaha Cina Perantauan di berbagai negara mendorong Cina Indonesia untuk ikut berkembang menggelorakan ekonomi sektor swasta di Indonesia. Misalnya dapat dilihat pada hubungan antara Leim Sioe Liong dari Indonesia dan Tan Piak Chin dari Thailand dalam menyelesaikan utang-utang Pertamina dalam kasus kapal tanker pada tahun 1970-an.    
Pada era pemerintahan Soeharto, insiden anti-Cina terjadi di berbagai tempat meskipun tidak meluas secara serempak di banyak tempat. Kebijakan rezim Orde Baru terhadap warga Cina lebih sistematis dibandingkan kebijakan negara sebelumnya. Pemerintah berpendapat bahwa keterlibatan warga Cina dalam peristiwa September 1965 merupakan hasil dari tidak berasimilasinya warga Cina dalam masyarakat Indonesia.
 Oleh sebab itu pemerintah meluncurkan program asimilasi yang sangat gencar. Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 mengenai pelarangan agama, kepercayaan, dan adat Istiadat Cina yang menghalangi ekspresi kehidupan sehari-hari warga Cina. Proses marginalisasi dilakukan dengan cermat. Partisipasi politik dihambat dengan berbagai alasan, termasuk dalam bidang sosial budaya. Pada era ini terdapat pengaruh keamanan dan Departemen Agama yang kadang-kadang ikut campur dalam pelaksanaan ibadah keagamaan khususnya pada bentuk-bentuk yang lebih Cina.
Dulunya acara seperti Tahun Baru Imlek, Perayaan Rebutan, atau Festival Kapal Naga adalah acara umum yang menarik penonton dan bahkan pesertanya berasal dari semua komunitas dengan disertai arak-arakan, menebar hadiah, dan membuka arak-arakan besar. Selanjutnya acara keagamaan Cina hanya dilakukan di lingkungan kelenteng atau dalam kediaman keluarga. Selain alasan ketertiban umum, pemerintah berdalih bahwa perayaan seperti Tahun Baru Imlek bukanlah perayaan agama Buda dan oleh karenanya tidak ada alasan yang kuat. Pemerintah melakukan asimilasi orang-orang Cina dengan memutuskan hubungan dengan leluhur dengan penggantian nama bagi WNI yang memakai nama Cina, larangan memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barangcetakan dalam bahasa Cina, sekolah-sekolah Cina ditutup dan semua anak sekolah harus pindah ke pengajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Koran berbahasa Cina juga dilarang terbit.
 Organisasi Cina tertentu dilarang, apakah itu organisasi kaum totok seperti perhimpunan masyarakat berdasarkan tempat asal atau organisasi kaum peranakan seperti BAPERKI, sebuah organisasi untuk menggalakkan kewarganegaraan Indonesia dan membela kepentingan kaum minoritas.
Etnis Cina kembali berkonsentrasi dalam bidang ekonomi. Bentuk ekonomi kerjasama atau ekonomi Ali-Baba pada tahun 1950-an kembali muncul pada masa pemerintahan Soeharto. Praktek bisnis seperti ini dalam era orde baru dikenal sebagai sistem cukongisme. Cukong adalah istilah Cina (Hokkien) yang berarti majikan. Di Indonesia istilah ini dipakai untuk menunjuk pengusaha Tionghoa yang terampil, bekerja sama secara erat dengan mereka yang berkuasa, khususnya militer sebagai perantara. Orientasi Orde Baru pada ekonomi membutuhkan penciptaan basis investasi yang luas dan bersifat massal. Dalam hal ini yang memenuhi syarat untuk menghimpun modal hanyalah golongan etnis Cina karena lemahnya struktur modal yangdimiliki oleh para pengusaha pribumi.
 PemerintahSoeharto benar-benar memberikan fasilitas dan proteksi untuk kemajuan bisnis beberapa tokoh Cina, misalnya Sudono Salim. Motif dibalik program pemerintah tersebut adalah untuk mengerahkan potensi ekonomi Cina di Indonesia dan dengan demikian mendorong mereka menarik lebih banyak modal dari Singapura, Hongkong, dan pusat-pusat bisnis Cina perantauan di Asia. Segala fasilitas pemerintah yang menguntungkan mempercepat kebangkitan kembali dominasi
Cina dalam ekonomi Indonesia dan mendepak perusahaan-perusahaan pribumi. Kebijakan ini dilatarbelakangi kepentingan politik dan ekonomi yang tampak sebagai upaya untuk menyangga dan melanggengkan kekuasaannya. Sukses ekonomi warga etnis Cina pada masa Orde Baru akibat kebijakan yang diterapkan pemerintah telah melahirkan sejumlah konglomerat. Akibatnya sentimen anti-Cina muncul kembali. Misalnya pada Januari 1974 terjadi demonstrasi massa anti-Cina dan anti-Jepang.
Golongan Cina memiliki prospek besar dalam mengembangkan kapitalisme di Indonesia. Mereka memiliki peran penting dalam ekonomi dan finansial yang kongkrit. Pusat perdagangan berbagai daerah didominasi toko milik keturunan Cina. Pribumi yang masuk ke berbagai sektor mulai besar beberapa tahun terakhir tetapi keturunan Cina masih menguasai inti ekonomi pasar modern. Pengalaman era Orde Baru menyadarkan merekamengenai akses politik yang dibatasi sehingga akses pada kebijakan akan dicari melalui uangatau dengan jalan korupsi.Status golongan Cina yang perbedaannya dipelihara sejak zaman kolonial lama-kelamaan menjadi lebur. Golongan menengah yang banyak dikuasai keturunan Cina masa Orde Baru kurang diakui tetapi setelah ada deregulasi dan debirokratisasi peranan golongan pengusaha tersebut menjadi abash.
Warga Negara Indonesia etnis Cina telah memiliki beban sejarah dan beban mitos dalam kehidupannya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dan otoriter telahmenerapkan politik ras atas nama etis, nasionalisme maupun pembangunan. Akibatnya muncul sentimen rasial dalam kehidupan bernegara. Sikap rasialis juga berkembang karena adanya prasangka-prasangka yang hidup dalam masyarakat, misalnya bahwa orang Cina itu hidup secara eksklusif dan memiliki sikap oportunis Dalam masyarakat sentimen anti-Cina didorong oleh faktor kesenjangan ekonomi. Latar belakang sejarah di bidang ekonomi warga etnis Cina telah melahirkan mitos kekuatan ekonomi mereka. Terdapat pemukul- rataan bahwa semua WNI etnis Cina adalah kaya dan memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi dalam  pemerintahan nasional sebagaimana dahulu mereka mendapatkan perlindungan dan keistimewaan dari pemerintah kolonial.
Soeharto adalah jenis “norma” aristokrat Jawa.ia cukup puas dengan tradisi perbedaan dalam budaya lokal dan berkomitmen di atas segal-galanya. Dia adalah seorang konservatif alamiah, dan banyak perwira menyukai dia. Soeharto juga seorang intendan yang mengerti bagaimana caranya berbisnis dengan para pedagang Cina.
Individu-individu yang bearasl dari kaum imigran Chima yang merupakan pendatang yang relatif datangnya belakangan. Yang paling terkenal adalah Liem Sieo Liong, pedagang kecil yang datang ke Jawa pada 1938. Dengan Liem Soeharto memiliki transaksi-transaksi komersial pada 1950-an. Pada 1968, separuh bagian monopoli impor cengkeh diberikan kepada Liem. Pada 1969 konsensi itu menjadi monopoli total atas impor, penggilingan dan distribusi tepung. Dan 1970-an, Liem juga mendekati monopoli distribusi semen. Itu adalah imbalan atas hubungan yang telah terpelihara antara kekuasaan politik dengan pedagang China. Bisnis-bisnis intinya adalah perbankan, komoditas-komoditas lunak, pemrosesan makanan, semen, baja, dan real estate. Liem memasukkan kerabat Soeharto ke perusahaan-perusahaan seperti Bogasari, Indocement dan Bank Central Asia (BCA) sebagai pemegang saham. Kendaraan bisnis besarnya di luar negeri adalah First Pacific yang terdaftar di Bursa Hongkong.
Taipan lain yang ada di Indonesia yaitu Mohammad ‘Bob’ Hasan (The Kian Seng). Dia lahir di Semarang dalam keluarga pedagang tembakau China. Hasan menjadi putra angkat Jenderal Gatot Subroto, yang membela Soeharto ketika dia dihukum oleh Panglima Angkatan Darat Nasution pada akhir !950-an karena ativitas penyeludupan. Hasan yang bermitra dalam penyeludupan itu akhirnya menjadi orang kepercayaan Soeharto. Ketika Soeharto menjadi Presiden, Bob Hasan mendapat sejumlah konsesi kayu besar, bermitra dengan perusahaan asing seperti Georgia Pasific dan Amerika Serikat. Dia melakukan diservikasi ke pengapalan, real estate, perbankan dan banyak lagi serta menguasai banyak perusahaan bekerja sama dengan keluarga Soeharto.
Masih banyak lagi para taipan lainnya di Indonesia, diantaranya Keluarga Bakrie, Keluarga Hartono, Hasyim Djojohadikusumo, Kleuarga Kalla, Keluarga Nursalim, Keluarga Oe, Keluarga Pangestu, Probosutedjo, Keluarga Riady, dll. Kesemuanya ini memiliki pengaruh terhadap perekonomian di Indonesia bahkan di Asia. Mereka yang disebut dengan julukan Godfather. Orang-orang ini berperan dibalik layar mengendalikan perekonomian di Indonesia.
Daftar Bacaan

Joe Studwell (2009), Asian Godfathers: Menguak Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa, Jakarta: Pustaka Alvabet

0 comments:

Post a Comment