Objektivitas dan Subjektivitas Sejarah

5/20/15
Masalah objektivitas dan subjektivitas sejarah merupakan debat lama yang tidak pernah selesai, paling tidak seperti yang direfleksikan dalam filsafat sejarah. Pertanyaannya apakah sejarah dapat objektif? Sebenarnya bukan hanya sejarah saja tetapi juga disiplin-disiplin kognitif lain tidak dapat objektif jika yang dimaksud dengan kata “objektif” itu tuntutan-tuntutan yang sulit atau mustahil dipenuhi seperti:

1.      Kebenaran mutlak;
2.      Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi;
3.      Netralitas mutlak, tidak memihak, dan tidak terikat.
4.      Kondisi-kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa atau menuntut penempatan seluruh peristiwa kedalam hukum-hukum yang berlaku umum (Conkin & Stromberg, 1971:85, 197).
Sejarah sebagaimana yang dipahami oleh para sejarawan bukanlah masa lalu melainkan catatan dan/atau ingatan mengenai masa lalu. Oleh sebab itu jika tidaka ada catatan atau ingatan tidak ada sejarah. Sebagai catatan dan/atau ingatan, tentu ada orang yang atau mengingat, dan sebagai manusia ia (mereka) mempunyai pandangan-pandangan, mempunyai prasangka-prasangka yang memasuki catatan atau ingatan itu dan memberi warna tertentu kepadanya yang disebut memihak (bias). Dari sini saja si pencatat atau si pengingat (untuk tradisi lisan) sudah “subjektif.” Laporan-laporan para pejabat Belanda, baik berupa enografi dari kelompok-kelompok etnis di Indonesia ataupun mngenai perlawanan-perlawanan terhadap Belanda sebelum abad ke-20, misalnya, telah diwarnai dengan prasangka dan pemihakan mereka. Laporan-laporan inilah yang menjadi sumber-sumber pertama penulisan sejarah selain dari sumber-sumber pribumi lainnya. Tanpa menerima mentah-mentah dan percaya begitu saja, pada gilirannya para sejarawan menggunakan sumber-sumber itu untuk penulisan sejarah setelah melalui proses heuristik dan kritik-kritik sumber.
Selanjutnya ketika sejarawan memilih topik atau masalah dari sumber yang sudah ada, misalnya, para sejarawan harus melakukan seleksi. Tetapi seleksi disini tidak didasarkan prasangka tau pemihakan sebelumnya mengenai isi (substansi) informasi yang diberikan oleh sumber-sumber itu melainkan seleksi dalam arti yang diesbutkan oleh W.H. Wals, yaitu:
1.      Meskipun perhatian sejarawan sangat luas, namun mereka terpaksa harus menseleksi aspek tertentu dan terbatas sekali dari masa lalu itu yaitu kebetulan menarik perhatiannya untuk diteliti. Ini membuat penulisan sejarah seperti terkotak-kotak (departemental).
2.      Tidak seorangpun sejarawan yang dapat menceritakan setiap kejadian dari masa lalu itu dengan lengkap dalam ruang lingkup kajian yang dipilihnya. Ia harus menseleksi fakta-fakta karena tekanan pada penting dan relevansinya dengan pokok atau masalah kajiannya dan oleh karena itu ia terpaksa mengabaikan sama sekali fakta-fakta lain yang dianggapnya tidak penting. Mengenai pengertian penting tidaknya ini tergantung kepada apa yang dipikirkan sejarawan ketika itu dan keputusannya mempertimbangkannya sebagai sesuatu yang penting. Di sinilah masuk unsur-unsur minat, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu sehingga tampaknya menjadi subjektif.
Selanjutnya menurut Wals, paling tidak ada empat kemungkinan yang menyebabkan tidak ada kesepakatan di antara para sejarawan yang mempunyai konsekuensi kepada masalah subjektivitas dan/atau objktivitas sejarah ini:
1.      Pemihakan Pribadi (personal bias). Persoalan suka dan tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang. Ada sejarawan seperti Carlyle mengagumi orang-orang besar, tetapi ada pula sejarawan seperti Wells yang sebaliknya antipati kepada orang-orang besar. Carlyle menulis tentang cita-cita dan tindakan-tindakan dari pahlawannya sebagai penentu jalannya sejarah pada waktunya. Sebaliknya Wells menulis tentang betapa tidak jujur atau jahat, misalnya, dari para pelaku sejrahnya yang terutama tokoh-tokoh militer. Tetapi karena pemihakan yang semacam ini karya-karya mereka dicap sebagai “sejarah yang buruk.” Pada contoh lain, karya-karya biografi, memoir, atau otobiografi mempunyai peluang besar adanya bias pribadi ini.
2.      Prasangka Kelompok (group prejudice). Di sini menyangkut keanggotaan sejarawandalm suatu kelompok apakah itu bangsa, ras, kelompok sosial, atau agama tertentu. Sejarawan berkulit putih, misalnya, menulis sejarah dengan sikap angkuh dan menganggap diri lebih beradab daripada bangsa-bangsa kulit bewarna yang pernah mereka taklukan atau jajah. Pandangan yang Eropa-sentris atau Belanda-sentris dalam sejarah Indonesia dahulu adalah salah satu contoh. Mengenai sebab-sebab Perang Dunia I dan Perang Dunia II, para sejarawan dari masing-masing pihak yang berperang kemudian menulis dan saling menyalahkan karena mereka berdiri dan melihat dari sudut pandang bangsanya.
3.      Teori-teori Bertentangan Tentang Penafsiran Sejarah (conflicting theories of historical interpretation). Sejarawan Marxis, misalnya, akan menulis berdasarkan teori determinisme ekonomi dalm menafsirkan faktor penyebab sejarah; bahwa ekonomilah satu-satunya penggerak utama sejarah. Begitu pula para determinis lain yang akan menulis berdasarkan faktor atau tenaga tunggal ras atau geografis.
4.      Konflik-konflik Filsafat yang Mendasar (underlying philosophical conflicts), yang ada kaitannya dengan kepercayaan moral atau Weltanschauungen (pandangan hidup seseorang). Secara teoretis, seorang yang mneganut filsafat hidup tertentu, paham, kepercayaan, atau agama tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangannya itu.
Bagaimanapun juga para sejarawan yang baik sepakat untuk menulis karya-karya sejarah yang tidak memihak dan bersifat pribadi. Semua karya sejarah yang argumentasi dan kesimpulannya diputar-balik untuk tujuan-tujuan prasangka dan/atau propanganda dianggap buruk.
 


DAFTAR BACAAN
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Obak, 2007

0 comments:

Post a Comment