Masalah objektivitas dan subjektivitas
sejarah merupakan debat lama yang tidak pernah selesai, paling tidak seperti
yang direfleksikan dalam filsafat sejarah. Pertanyaannya apakah sejarah dapat
objektif? Sebenarnya bukan hanya sejarah saja tetapi juga disiplin-disiplin
kognitif lain tidak dapat objektif jika yang dimaksud dengan kata “objektif”
itu tuntutan-tuntutan yang sulit atau mustahil dipenuhi seperti:
1.
Kebenaran
mutlak;
2.
Sesuai
dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi;
3.
Netralitas
mutlak, tidak memihak, dan tidak terikat.
4.
Kondisi-kondisi
yang harus lengkap untuk semua peristiwa atau menuntut penempatan seluruh
peristiwa kedalam hukum-hukum yang berlaku umum (Conkin & Stromberg,
1971:85, 197).
Sejarah sebagaimana yang dipahami oleh
para sejarawan bukanlah masa lalu melainkan catatan dan/atau ingatan mengenai
masa lalu. Oleh sebab itu jika tidaka ada catatan atau ingatan tidak ada
sejarah. Sebagai catatan dan/atau ingatan, tentu ada orang yang atau mengingat,
dan sebagai manusia ia (mereka) mempunyai pandangan-pandangan, mempunyai
prasangka-prasangka yang memasuki catatan atau ingatan itu dan memberi warna
tertentu kepadanya yang disebut memihak (bias). Dari sini saja si pencatat atau
si pengingat (untuk tradisi lisan) sudah “subjektif.” Laporan-laporan para
pejabat Belanda, baik berupa enografi dari kelompok-kelompok etnis di Indonesia
ataupun mngenai perlawanan-perlawanan terhadap Belanda sebelum abad ke-20,
misalnya, telah diwarnai dengan prasangka dan pemihakan mereka. Laporan-laporan
inilah yang menjadi sumber-sumber pertama penulisan sejarah selain dari
sumber-sumber pribumi lainnya. Tanpa menerima mentah-mentah dan percaya begitu
saja, pada gilirannya para sejarawan menggunakan sumber-sumber itu untuk
penulisan sejarah setelah melalui proses heuristik dan kritik-kritik sumber.
Selanjutnya ketika sejarawan memilih
topik atau masalah dari sumber yang sudah ada, misalnya, para sejarawan harus
melakukan seleksi. Tetapi seleksi disini tidak didasarkan prasangka tau
pemihakan sebelumnya mengenai isi (substansi) informasi yang diberikan oleh
sumber-sumber itu melainkan seleksi dalam arti yang diesbutkan oleh W.H. Wals,
yaitu:
1.
Meskipun
perhatian sejarawan sangat luas, namun mereka terpaksa harus menseleksi aspek
tertentu dan terbatas sekali dari masa lalu itu yaitu kebetulan menarik
perhatiannya untuk diteliti. Ini membuat penulisan sejarah seperti
terkotak-kotak (departemental).
2.
Tidak
seorangpun sejarawan yang dapat menceritakan setiap kejadian dari masa lalu itu
dengan lengkap dalam ruang lingkup kajian yang dipilihnya. Ia harus menseleksi
fakta-fakta karena tekanan pada penting dan relevansinya dengan pokok atau
masalah kajiannya dan oleh karena itu ia terpaksa mengabaikan sama sekali
fakta-fakta lain yang dianggapnya tidak penting. Mengenai pengertian penting
tidaknya ini tergantung kepada apa yang dipikirkan sejarawan ketika itu dan
keputusannya mempertimbangkannya sebagai sesuatu yang penting. Di sinilah masuk
unsur-unsur minat, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu
sehingga tampaknya menjadi subjektif.
Selanjutnya menurut Wals, paling tidak
ada empat kemungkinan yang menyebabkan tidak ada kesepakatan di antara para
sejarawan yang mempunyai konsekuensi kepada masalah subjektivitas dan/atau
objktivitas sejarah ini:
1. Pemihakan Pribadi (personal bias). Persoalan suka dan tidak suka pribadi
terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang. Ada sejarawan seperti
Carlyle mengagumi orang-orang besar, tetapi ada pula sejarawan seperti Wells
yang sebaliknya antipati kepada orang-orang besar. Carlyle menulis tentang
cita-cita dan tindakan-tindakan dari pahlawannya sebagai penentu jalannya
sejarah pada waktunya. Sebaliknya Wells menulis tentang betapa tidak jujur atau
jahat, misalnya, dari para pelaku sejrahnya yang terutama tokoh-tokoh militer.
Tetapi karena pemihakan yang semacam ini karya-karya mereka dicap sebagai
“sejarah yang buruk.” Pada contoh lain, karya-karya biografi, memoir, atau
otobiografi mempunyai peluang besar adanya bias pribadi ini.
2. Prasangka Kelompok (group prejudice). Di sini menyangkut keanggotaan
sejarawandalm suatu kelompok apakah itu bangsa, ras, kelompok sosial, atau
agama tertentu. Sejarawan berkulit putih, misalnya, menulis sejarah dengan
sikap angkuh dan menganggap diri lebih beradab daripada bangsa-bangsa kulit
bewarna yang pernah mereka taklukan atau jajah. Pandangan yang Eropa-sentris
atau Belanda-sentris dalam sejarah Indonesia dahulu adalah salah satu contoh.
Mengenai sebab-sebab Perang Dunia I dan Perang Dunia II, para sejarawan dari
masing-masing pihak yang berperang kemudian menulis dan saling menyalahkan
karena mereka berdiri dan melihat dari sudut pandang bangsanya.
3. Teori-teori Bertentangan Tentang Penafsiran Sejarah
(conflicting theories of historical
interpretation). Sejarawan
Marxis, misalnya, akan menulis berdasarkan teori determinisme ekonomi dalm
menafsirkan faktor penyebab sejarah; bahwa ekonomilah satu-satunya penggerak
utama sejarah. Begitu pula para determinis lain yang akan menulis berdasarkan
faktor atau tenaga tunggal ras atau geografis.
4. Konflik-konflik Filsafat yang Mendasar (underlying philosophical conflicts), yang ada
kaitannya dengan kepercayaan moral atau Weltanschauungen
(pandangan hidup seseorang). Secara teoretis, seorang yang mneganut filsafat
hidup tertentu, paham, kepercayaan, atau agama tertentu akan menulis sejarah
berdasarkan pandangannya itu.
Bagaimanapun juga para sejarawan yang
baik sepakat untuk menulis karya-karya sejarah yang tidak memihak dan bersifat
pribadi. Semua karya sejarah yang argumentasi dan kesimpulannya diputar-balik
untuk tujuan-tujuan prasangka dan/atau propanganda dianggap buruk.
DAFTAR
BACAAN
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Obak,
2007
0 comments:
Post a Comment