Etnosentrisme

5/27/15
Etnosentrisme. Istilah etnosentrisme adalah istilah dalam sosiologi yang juga dipakai dalam telaah politik. Istilah ini pertama kali di dengungkan oleh W.G. Summer tahun 1906 untuk melukiskan apa yang disebut prejudicial attitutes (sikap-sikap prejudice) antara in group dan out group. Sikap, kebiasaan, dan perilaku kelompok “kamu”. Dalam konteks yang teknis, etnosentrisme berpusat pada perkara superioritas.[1]

Berkaitan otonomi daerah, etnosentrisme bisa saja muncul ketika elit lokal diberi kewenangan yang berlebihan. Banyak kasus etnosentrisme dan sentimen lokal sejak era reformasi, justru didorong oleh kewenangan elit lokal baik formal dan non formal yang kuat. Mereka kerap bergerak menggunakan sentimen ke daerahan atas nama membela kepentingan rakyat di daerahnya. Seiring dengan otonomi daerah, etnosentrisme muncul dalam isu-isu pemekaran wilayah, pemilihan kepala daerah, pembagian hasil alam, serta keberadaan BUMN di daerah.
Istilah yang sebanding dengan etnosentrisme adalah politik etnik. Politik etnik dapat dibangkitkan oleh ketidakpuasan sekelompok anggota masyarakat yang terkosentrasi dalam suatu daerah, yang menuntut otonomi lebih besar atas daerah kediaman mereka, atau perwakilan yang lebih memadai pada pemerintah pusat; atau oleh sekelompok pendatanng yang menghendaki akses lebih memadai dalam pembuatan keputusan, yang terkadang dikombinasi oleh tuntutan pengakuan dan dukungan pemerintah terhadap institusi-institusi budayanya.[2]
Tetapi di sisi lain, masalah ras (dan etnik) sering dipolitisir antara lain: mewujudkan entitas tersendiri dalam masyarakat industrial yang makin terintegrasi dan diwarnai oleh birokrasi yang makin kental; cara-cara efisien untuk memobilisasi dan mewakili kepentingan perorangan dan kelompok dalam masyarakat modern masalah faktor kunci untuk menghindari konflik. Di samping itu, ada pendapat, identitas dan solidaritas etnik bersifat tidak tetap, pragmatis dan oportunistis, dan hal itu seringkali dibentuk oleh pihak atau kelompok ras tertentu untuk melegitimasi tuntutan mereka bagi adanya keuntungan-keuntungan politis maupun material.[3]
Ada juga istilah sebanding lainnya, yakni “nasionalisme etnik” (ethnic nationalism). Nasionalisme etnik adalah nasionalisme yang mendasarkan legitimasinya pada budaya, suku, ras, agama, pengalaman sejarah, dan/atau mitos nenek moyang yang sama, dan menggunakan berbagai kriteria itu untuk memasukkanatau mengeluarkan orang ke dalam dan dari kelompok nasional.[4] Nasionalisme etnik terjadi kalau elit politik yang ada merasa terancam oleh proses demokratisasi dan kelembagaan negara juga masih lemah.[5]
Sumber
Israr Iskandar, Kasus Gerakan Menuntut Spin-Off PT Semen Padang dari PT Semen Gresik Tbk (1999-2003)( Yayasan SAD Satria Bhakti, 2007)



[1] Djohermansyah Djohan, “Fenomena Etnosentrisme dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah” dalam Syamsuddin Haris (eds), Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah, (Jakarta: AIPI, 2002), hlm. 193.
[2] Milton J. Esman, “Ethnic Politics” dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm. 308-309.
[3] Ibid.
[4] Jack Snyder, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Nasionalis, (Jakarta: KPG, 2004), hlm. 15. Lihat juga James Kellas, The Politics of Nationalism and Etnicity, (Hampshire, London: MacMillan Press, 1998), hlm. 65.
[5] Arief Budiman, “Pengantar” dalam Jack Snyder, Ibid, hlm. xii. 

0 comments:

Post a Comment