Etnosentrisme. Istilah etnosentrisme adalah istilah dalam sosiologi yang juga
dipakai dalam telaah politik. Istilah ini pertama kali di dengungkan oleh W.G.
Summer tahun 1906 untuk melukiskan apa yang disebut prejudicial attitutes (sikap-sikap prejudice) antara in group
dan out group. Sikap, kebiasaan, dan
perilaku kelompok “kamu”. Dalam konteks yang teknis, etnosentrisme berpusat
pada perkara superioritas.[1]
Berkaitan otonomi daerah, etnosentrisme bisa saja muncul
ketika elit lokal diberi kewenangan yang berlebihan. Banyak kasus etnosentrisme
dan sentimen lokal sejak era reformasi, justru didorong oleh kewenangan elit lokal
baik formal dan non formal yang kuat. Mereka kerap bergerak menggunakan
sentimen ke daerahan atas nama membela kepentingan rakyat di daerahnya. Seiring
dengan otonomi daerah, etnosentrisme muncul dalam isu-isu pemekaran wilayah,
pemilihan kepala daerah, pembagian hasil alam, serta keberadaan BUMN di daerah.
Istilah yang sebanding dengan etnosentrisme adalah
politik etnik. Politik etnik dapat dibangkitkan oleh ketidakpuasan sekelompok
anggota masyarakat yang terkosentrasi dalam suatu daerah, yang menuntut otonomi
lebih besar atas daerah kediaman mereka, atau perwakilan yang lebih memadai
pada pemerintah pusat; atau oleh sekelompok pendatanng yang menghendaki akses
lebih memadai dalam pembuatan keputusan, yang terkadang dikombinasi oleh
tuntutan pengakuan dan dukungan pemerintah terhadap institusi-institusi
budayanya.[2]
Tetapi di sisi lain, masalah ras (dan etnik) sering
dipolitisir antara lain: mewujudkan entitas tersendiri dalam masyarakat
industrial yang makin terintegrasi dan diwarnai oleh birokrasi yang makin
kental; cara-cara efisien untuk memobilisasi dan mewakili kepentingan
perorangan dan kelompok dalam masyarakat modern masalah faktor kunci untuk
menghindari konflik. Di samping itu, ada pendapat, identitas dan solidaritas
etnik bersifat tidak tetap, pragmatis dan oportunistis, dan hal itu seringkali
dibentuk oleh pihak atau kelompok ras tertentu untuk melegitimasi tuntutan
mereka bagi adanya keuntungan-keuntungan politis maupun material.[3]
Ada juga istilah sebanding
lainnya, yakni “nasionalisme etnik” (ethnic
nationalism). Nasionalisme etnik adalah nasionalisme yang mendasarkan
legitimasinya pada budaya, suku, ras, agama, pengalaman sejarah, dan/atau mitos
nenek moyang yang sama, dan menggunakan berbagai kriteria itu untuk
memasukkanatau mengeluarkan orang ke dalam dan dari kelompok nasional.[4] Nasionalisme
etnik terjadi kalau elit politik yang ada merasa terancam oleh proses
demokratisasi dan kelembagaan negara juga masih lemah.[5]
Sumber
Israr Iskandar, Kasus Gerakan
Menuntut Spin-Off PT Semen Padang dari PT Semen Gresik Tbk (1999-2003)( Yayasan
SAD Satria Bhakti, 2007)
[1] Djohermansyah Djohan, “Fenomena
Etnosentrisme dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah” dalam Syamsuddin Haris
(eds), Desentralisasi, Demokratisasi dan
Akuntabilitas Pemerintah Daerah, (Jakarta: AIPI, 2002), hlm. 193.
[2] Milton J. Esman, “Ethnic Politics” dalam
Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm. 308-309.
[4] Jack Snyder, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik
Nasionalis, (Jakarta: KPG, 2004), hlm. 15. Lihat
juga James Kellas, The Politics of
Nationalism and Etnicity, (Hampshire, London: MacMillan Press, 1998), hlm.
65.
[5] Arief Budiman, “Pengantar” dalam Jack
Snyder, Ibid, hlm. xii.
0 comments:
Post a Comment