Penetrasi Kebudayaan

5/18/15
Kebudayaan bersifat dinamis dan mengikuti hukum tertentu, yakni lahir, tumbuh berkembang, saling mempengaruhi, saling mengalahkan, dan saling menguasai. Disisi inilah penetrasi budaya terjadi. Penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Hal ini dapat terjadi dalam dua cara, yaitu:
1.      Penetrasi damai

Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke dalam kebudayaan Indonesia. Penerimaan kedua kebudayaan tersebut tidak menyebabkan konflik,  tapi justru memperkaya khazanah budaya masyarakat. Pengaruh kebudayaan ini pun tidak menghilangkan unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan akulturasi, asimilasi, dan sintesis. Akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Dan sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
2.      Penetrasi Kekerasan
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Seperti masuknya budaya Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai kekerasan sehingga menimbulkan goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat. Wujudnya antara lain budaya dari Belanda yang masih bertahan sampai sekarang seperti pada sistem pemerintahan Indonesia.
TEORI HEGEMONI KEBUDAYAAN
            Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramsci (1891-1937), yang dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Gagasannya tentang hegemoni banyak dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Gagasan ini dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure (basis-suprastruktur). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
            Perbedaan pandangan antara Karl Marx dan Gramsci:
1.      Karl Marx lebih menekankan pada hubungan yang bersifat ekonomis yang menentukan kebudayaan, khususnya masalah kebudayaan. Sedangkan Gramsci menganggap bahwa faktor politiklah yang lebih penting. Dia menganggap kesalahan paling fatal yang dilakukan oleh Karl Marx dan para pengikut ortodoksnya adalah sikap keras kepalanya dalam mempertahankan pandangan yang terlalu ekonomistis.
2.      Bagi Marx kebudayaan harus terbentuk dengan cara mendominasi, yaitu melalui tekanan dan paksaan yang lebih bersifat fisikal. Akan tetapi, bagi Gramsci, kebudayaan terbentuk dengan hegemoni, yaitu membius atau sebaliknya menggugah (tergantung tujuannya) kesadaran intelektual. Sarana pembius ini harus menggunakan saran budaya. Bagi Gramsci, budaya bukan untuk dibentuk, melainkan  sekaligus pembentuk keadaan. Gramsci menempatkan kebudayaan sejajar dan bersama-sama dengan ideologi dan politik, sebagai ‘suprastruktur’ yang bisa menjadi faktor penahan atau sebaliknya pengubah bagi keadaan kapitalisme.
Teori hegemoni sebenarnya bukan hal baru bagi tradisi Marxis. Pengertian semacam itu sudah dikenal oleh orang-orang Marxis lain sebelum Gramsci, seperti Karl Marx, Sigmund Freud, dan George Simmel. Hal yang membedakan teori hegemoni Gramsci dengan istilah yang serupa itu adalah:
Pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi supremasi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemakaian istilah itu sebelumnya hanya menunjukkan pada relasi antara proletariat dankelompok lainnya.
Kedua, Gramsci juga mengarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu.
Teori hegemoni Gramsci ini sebenarnya adalah hasil pemikirannya selama di penjara. Teori hegemoni dibangun di atas presisi pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan minginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, tetapi lebih dari itu, mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsensual. Gramsci secara berlawanan mendudukkan hegemoni, sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supremasi lain yang ia namakan “dominasi”, yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik.
Gramsci beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng mebutuhkan paling tidak dua perangkat kerja:
Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa. Perangkat kerja ini biasa dilkukan oleh pranata negara melalui lembaga-lembaga, seperti hukum, militer, polisis, bahkan penjara.
Kedua, perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata untuk taan pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, bahkan kelaurga. Perangkat kerja ini biasa dilakukan oleh pranata masyarakat sipil melalui embaga-lembaga masyarakat.
Perbedaan antara “masyarakat sipil” dan “masyarakat politik”, tidak jelas terlihat karena perbedaan itu dibuat hanya unutk kepentingan analisis. Kedua suprastruktur itu sangat diperlukan dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini bisa dilihat dalam konsep Gramsci tentang negara yang lebih luas, yaitu”negara integral”, yang meliputi masyarakat sipil dan masyarakat politik. Gramsci juga mengarakterisasikan negara integral sebagai kombinasi kompleks antara “kediktatoran dan hegemoni” atau seluruh komplek aktivias praktis dan teoritis, ketiak kelas berkuasa tidak hanya menjustifikasi dan menjaga dominannya, tetapi juga berupaya memenagkan persetujuan aktif dari mereka yang dikuasai, kelebihan konsep negara integral ini adalah karena konsepsi itu memungkinkan Gramsci untuk memandang hegemoni dalam batasan dialektik yang meliputi masyarakat sipil atau masyarakat politik.
Gramsci mengatakan, apabila kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuasaan memaksa, hasil nyata yang berhasil dicapai dinamakan “dominasi”. Stabilitas dan keamanan memang tercapai, sementara gejolak perlawanan tidak terlihat karena rakyat memang tidak berdaya. Namun hali ini tidak dapat berlangsng terus-menerus, sehingga par penguasa benar-benar sangat ingin melestarikan kekuasaannya dengan menyadari keadaan ini akan melengkapi dominasi dengan perangkat kerja yang kedua, yang hasilnya akan lebih dikenal dengan sebutan “hegemoni”. Supermasi kelompok atau kelas sosial tampil dalam dua cara, yaitu dominasi atau penindasan dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tipe kepemimpinan terakhirlah yang merupakan hegemoni.
Melalui produk-produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar, baik secara moral maupun intelektual. Hegemoni satu kelompok atas kelompok-kelompok lainnya dalam pengertian Gramscian bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni itu harus diarauh melalui upaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat.

0 comments:

Post a Comment