Kebudayaan
bersifat dinamis dan mengikuti hukum tertentu, yakni lahir, tumbuh berkembang,
saling mempengaruhi, saling mengalahkan, dan saling menguasai. Disisi inilah
penetrasi budaya terjadi. Penetrasi
kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Hal
ini dapat terjadi dalam dua cara, yaitu:
1.
Penetrasi
damai
Masuknya
sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya masuknya pengaruh kebudayaan
Hindu dan Islam ke dalam kebudayaan Indonesia. Penerimaan kedua kebudayaan
tersebut tidak menyebabkan konflik, tapi
justru memperkaya khazanah budaya masyarakat. Pengaruh kebudayaan ini pun tidak
menghilangkan unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran
kebudayaan secara damai akan menghasilkan akulturasi, asimilasi, dan sintesis. Akulturasi
adalah percampuran dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa
menghilangkan unsur kebudayaan asli. Asimilasi adalah bercampurnya dua
kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Dan sintesis adalah bercampurnya
dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang
sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
2.
Penetrasi
Kekerasan
Masuknya
sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Seperti masuknya budaya
Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai kekerasan sehingga
menimbulkan goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat. Wujudnya
antara lain budaya dari Belanda yang masih bertahan sampai sekarang seperti
pada sistem pemerintahan Indonesia.
TEORI HEGEMONI KEBUDAYAAN
Teori ini dikemukakan oleh Antonio
Gramsci (1891-1937), yang dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting
setelah Marx. Gagasannya tentang hegemoni banyak dipengaruhi oleh pemikiran
Hegel. Gagasan ini dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap
teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure
(basis-suprastruktur). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi
pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh
determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Perbedaan pandangan antara Karl Marx
dan Gramsci:
1.
Karl
Marx lebih menekankan pada hubungan yang bersifat ekonomis yang menentukan
kebudayaan, khususnya masalah kebudayaan. Sedangkan Gramsci menganggap bahwa
faktor politiklah yang lebih penting. Dia menganggap kesalahan paling fatal
yang dilakukan oleh Karl Marx dan para pengikut ortodoksnya adalah sikap keras
kepalanya dalam mempertahankan pandangan yang terlalu ekonomistis.
2.
Bagi
Marx kebudayaan harus terbentuk dengan cara mendominasi, yaitu melalui tekanan
dan paksaan yang lebih bersifat fisikal. Akan tetapi, bagi Gramsci,
kebudayaan terbentuk dengan hegemoni, yaitu membius atau sebaliknya menggugah
(tergantung tujuannya) kesadaran intelektual. Sarana pembius ini harus
menggunakan saran budaya. Bagi Gramsci, budaya bukan untuk dibentuk,
melainkan sekaligus pembentuk keadaan.
Gramsci menempatkan kebudayaan sejajar dan bersama-sama dengan ideologi dan
politik, sebagai ‘suprastruktur’ yang bisa menjadi faktor penahan atau
sebaliknya pengubah bagi keadaan kapitalisme.
Teori
hegemoni sebenarnya bukan hal baru bagi tradisi Marxis. Pengertian semacam itu
sudah dikenal oleh orang-orang Marxis lain sebelum Gramsci, seperti Karl Marx,
Sigmund Freud, dan George Simmel. Hal yang membedakan teori hegemoni Gramsci
dengan istilah yang serupa itu adalah:
Pertama,
ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi supremasi satu kelompok atau lebih
atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemakaian istilah itu
sebelumnya hanya menunjukkan pada relasi antara proletariat dankelompok
lainnya.
Kedua,
Gramsci juga mengarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”,
tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana
dipahami generasi Marxis terdahulu.
Teori
hegemoni Gramsci ini sebenarnya adalah hasil pemikirannya selama di penjara.
Teori hegemoni dibangun di atas presisi pentingnya ide dan tidak mencukupinya
kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramsci, agar yang
dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai
dan minginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, tetapi lebih dari itu,
mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang
dimaksud Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral
dan intelektual” secara konsensual. Gramsci secara berlawanan mendudukkan
hegemoni, sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa kelompok
atas yang lainnya, dengan bentuk supremasi lain yang ia namakan “dominasi”,
yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik.
Gramsci
beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng mebutuhkan paling
tidak dua perangkat kerja:
Pertama,
adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat
memaksa. Perangkat kerja ini biasa dilkukan oleh pranata negara melalui
lembaga-lembaga, seperti hukum, militer, polisis, bahkan penjara.
Kedua,
perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata untuk taan pada
mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, bahkan
kelaurga. Perangkat kerja ini biasa dilakukan oleh pranata masyarakat sipil
melalui embaga-lembaga masyarakat.
Perbedaan
antara “masyarakat sipil” dan “masyarakat politik”, tidak jelas terlihat karena
perbedaan itu dibuat hanya unutk kepentingan analisis. Kedua suprastruktur itu
sangat diperlukan dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini bisa dilihat dalam konsep
Gramsci tentang negara yang lebih luas, yaitu”negara integral”, yang meliputi
masyarakat sipil dan masyarakat politik. Gramsci juga mengarakterisasikan
negara integral sebagai kombinasi kompleks antara “kediktatoran dan hegemoni”
atau seluruh komplek aktivias praktis dan teoritis, ketiak kelas berkuasa tidak
hanya menjustifikasi dan menjaga dominannya, tetapi juga berupaya memenagkan
persetujuan aktif dari mereka yang dikuasai, kelebihan konsep negara integral
ini adalah karena konsepsi itu memungkinkan Gramsci untuk memandang hegemoni dalam
batasan dialektik yang meliputi masyarakat sipil atau masyarakat politik.
Gramsci
mengatakan, apabila kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuasaan
memaksa, hasil nyata yang berhasil dicapai dinamakan “dominasi”. Stabilitas dan
keamanan memang tercapai, sementara gejolak perlawanan tidak terlihat karena
rakyat memang tidak berdaya. Namun hali ini tidak dapat berlangsng
terus-menerus, sehingga par penguasa benar-benar sangat ingin melestarikan
kekuasaannya dengan menyadari keadaan ini akan melengkapi dominasi dengan
perangkat kerja yang kedua, yang hasilnya akan lebih dikenal dengan sebutan
“hegemoni”. Supermasi kelompok atau kelas sosial tampil dalam dua cara, yaitu
dominasi atau penindasan dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tipe kepemimpinan
terakhirlah yang merupakan hegemoni.
Melalui
produk-produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang
dipandang benar, baik secara moral maupun intelektual. Hegemoni satu kelompok
atas kelompok-kelompok lainnya dalam pengertian Gramscian bukanlah sesuatu yang
dipaksakan. Hegemoni itu harus diarauh melalui upaya politis, kultural dan
intelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat.
0 comments:
Post a Comment