Mengenal Permindo dari Sudut Sejarah

3/12/17
Pada akhir bulan Maret 1949, tiga orang sahabat yatu Bapak  Z.Arifin Usman, Bapak Marah Syafei Sahab dan Bapak Enggak Bahauddin berbicara mengenai nasib dunia pendidikan di daerah pendudukan Belanda khususnya di Kota Padang. Di Kota Padang saat itu ada sekolah-sekolah Belanda yang setaraf dengan SD dan SMP, tetapi menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Hal ini tidak sesuai dengan aspirasi kaum remaja “republikein”.
Kemudian muncul ide untuk mendirikan sekolah lanjutan “republikein” di bekas sekolah Normal Islam P.G.A.I di Jati Padang Timur. Gedung ini ini cukup luas untuk dijadikan sekolah SMP dan SMA sekaligus. Pada saat itu juga mereka memperoleh nama yang menarik untuk sekolah tersebut, yaitu “PERMINDO”, singkatan dari “Perguruan Menengah Indonesia”. Gagasan ini kemudian dilanjutkan kepada Bapak H. Wahab Amin selaku sekretaris P.G.A.I dan Bapak C.B. Tampubolon yang merupakan seorang pedagang swasta. Mengenai izin pendirian sekolah menurut Bapak H. Wahab Amin tidak perlu khawatir karena gedung P.G.A.I  ini dipakai untuk sekolah yang telah mendapatkan izin sejak “tempo doeloe”, jadi bisa dilanjutkan dengan nama PERMINDO.
PERMINDO terbagi atas 6 tingkat kelas. Dari kelas 1 sampai kelas 3 setingkat dengan SMP, dan dari kelas 4 sampai kelas 6 setingkat dengan SMA dengan memakai kurikulum RI. Pengumuman penerimaan murid sekolah ini dilakukan melalui iklan koran Penerangan Padang. Sedangkan pendaftarannya dilakukan di Kantor percetakan Gazaira di sebelah bioskop Rio dengan biaya awal sebanyak sepuluh gulden setiap murid. Uang ini kemudian digunakan untuk biaya perlengkapan yang berhubungan langsung dengan kegiatan operasional.  Selain itu ada juga bantuan dari masayarakat dan juga dari Bapak C.B Tampubolon sendiri untuk perbaikan gedung dan perlengkapan sekolah. Tenaga guru yang digunakan ialah dari guru sekolah menengah yang pulang dari pengungsian termasuk para pegawai negeri yang dianggap mampu mengajar di sekolah lanjutan. Dengan demikian dimulailah proses belajar-mengajar di sekolah “republikein” ini tepat pada hari Senin tanggal 2 Mei 1949.
PERMINDO sebagai sarana pendidikan di Kota Padang yang memakai nama Indonesia dan bahasa pengantar Indonesia saat itu dapat dikatakan mampu bertahan cukup kuat di bawah tekanan Belanda. Misalnya setelah perundingan Roem-Royen, para guru dan pelajarnya turun ke jalan melakukan “pawai” yang tujuan sebenarnya adalah memperingatkan dan memberikan tekanan psikologis kepada “golongan etnis” dan rakyat yang terbuai dengan pemerintahan Belanda. Selain itu mereka juga bersikeras melaksanakan perayaan Kemerdekaan Indonesia ke-IV pada tanggal 17 Agustus 1949 meskipun diintimidasi Belanda yang mengerahkan mobil panser mereka saat upacara berlansung. Tidak hanya itu, sebelum perayaan kemerdekaan dimulai salah seorang pelajar pejuang  PERMINDO ditangkap Belanda karena berani mengibarkan bendera Merah Putih di depan rumahnya. Pada hari itu juga, PERMINDO menerbitkan majalah “SISWA MERDEKA” edisi pertama. Pada mulanya majalah tersebut hanya tersebar di kalangan para pelajar. Namun, pada edisi kedua majalah tersebut telah beredar kemana-mana. Sementara menunggu edisi ke-3, majalah tersebut telah disita penguasa setempat bersamaan dengan ditahannya dua orang pelajar pejuang PERMINDO. Akhirnya pihak penguasa melarang penerbitan majalah tersebut dengan alasan tergolong pada selebaran gelap yang tidak memiliki izin terbit.
Usaha PERMINDO sebagai salah satu wadah perjuangan nasional telah memulai dukungannya untuk menegakkan negara RI di Kota Padang sejak 7 Mei 1949 sampai Kota Padang kembali menjadi ibukota Provinsi Sumbar pada bulan Maret 1950. Perilaku para pelajar pejuang PERMINDO yang bersikap konsisten itu telah dapat merangkul penduduk Kota Padang. Pengaruhnya telah menghidupkan kembali semangat spontanitas penyambutan kemerdekaan RI.    
Menjelang pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, PERMINDO telah bersiap-siap untuk pindah gedung menjadi dua sekolah yang terpisah, yakni SMP dan SMA.  Sehari setelah pengangkatan Dr. Rasyidin sebagai walikota pada tanggal 1Januari 1950, PERMINDO akhirnya pindah ke gedung-gedung sekolah negeri di Belantung (Jl. Sudirman sekarang). Gedung ini dulunya ditempati oleh  sekolah-sekolah Belanda seperti MULO dan Alg.Europeesche Large School. Mereka harus tutup dikarenakan peraturan Kementrian P & K yang menyatakan semua sekolah negeri harus berbahasa pengantar Indonesia.
Pada tanggal 1 April 1950 Kementrian P & K resmi menyatakan PERMINDO sebagai SMP dan SMA negeri di Kota Padang. Kedua sekolah tersebut adalah sekolah lanjutan negeri pertama semenjak pemulihan kekuasaan RI di Kota Padang meski tidak lagi memakai nama PERMINDO. Karena itu tidak mengejutkan jika SMA-PERMINDO memiliki keterkaitan dengan SMA/SMA-I/II negeri dan SMA Ganesa. Demikian pula antara SMP-PERMINDO dengan SMP-I/II/III negeri. Karena setelah melalui proses yang berkesinambungan, para guru dan muridnya yang telah berpindah-pindah dan bekerja sebagai guru setelah tamat, kemudian menjadi penerus dalam pengembangan sekolah-sekolah baru.

Pada tahun 1986 Kotamadya Padang telah memberi nama salah satu jalan dengan nama PERMINDO. Hal ini disusul pula oleh bangunan sebuah TUGU PERJUANGAN PERMINDO sebagai kenang-kenangan sejarah Kemerdekaan RI di Kota Padang, yang memiliki arti khusus bagi generasi penerus PERMINDO.   

Unsur dan Penulisan Historiografi Afrika

2/24/17
Proses penyampaian tradisi tidak terlepas dari pembentukan tradisi. Tradisi dibuat oleh mereka yang menyampaikan tradisi, misalnya orang-orang yang lebih tua di desa dan di klien. Orang-orang tersebut kadang ditunjuk dari anggota-anggota suatu keluarga yang dianggap mampu melakukan.

Edward W. Said Tokoh Oksidentalisme

5/27/15
Oksidentalisme merupakan antitesis Orientalisme. Para oksidentalis mengkritik orientalisme sekaligus mengkaji ulang Barat. Ibarat permainan bola, Oksidentalisme melakukan serangan balik terhadap Orientalisme. Para penyerang dari kubu Oksidentalis antara lain Edward Said, Anouar Abdel-Malek dan Hassan Hanafi.

Etnosentrisme

Etnosentrisme. Istilah etnosentrisme adalah istilah dalam sosiologi yang juga dipakai dalam telaah politik. Istilah ini pertama kali di dengungkan oleh W.G. Summer tahun 1906 untuk melukiskan apa yang disebut prejudicial attitutes (sikap-sikap prejudice) antara in group dan out group. Sikap, kebiasaan, dan perilaku kelompok “kamu”. Dalam konteks yang teknis, etnosentrisme berpusat pada perkara superioritas.[1]