Edward W. Said Tokoh Oksidentalisme

5/27/15
Oksidentalisme merupakan antitesis Orientalisme. Para oksidentalis mengkritik orientalisme sekaligus mengkaji ulang Barat. Ibarat permainan bola, Oksidentalisme melakukan serangan balik terhadap Orientalisme. Para penyerang dari kubu Oksidentalis antara lain Edward Said, Anouar Abdel-Malek dan Hassan Hanafi.

Edward Said membombardir Orientalisme dengan pemikiran Antonio Gramci tentang hegemoni kultural dan gagasan Michel Foucault tentang pengetahuan/kekuasaan.
Di buku The Modern Prince (1957), Antonio Gramcy menyatakan bahwa hegemoni dioperasikan dalam suatu masyarakat oleh kelas penguasa (ruling class) yang didukung oleh kaum intelektual, pejabat dan aparat koersif (keamanan). Lebih spesifik dia mencatat:
Intelektual adalah 'petugas'nya kelas penguasa untuk menjalankan fungsi subordinat hegemoni sosial dan pemerintahan politik, yaitu (1) persetujuan 'spontan' dari massa besar terhadap kehidupan sosial yang dikendalikan kelas penguasa, persetujuan yang muncul secara historis dari wibawa (dan dari kepercayaan); (2) aparat koersif negara, yang secara 'legal' memastikan disiplin kelompok-kelompok yang tidak 'setuju' baik secara aktif maupun secara pasif, tetapi dibentuk untuk seluruh masyarakat dalam mengantisipasi saat-saat krisis perintah dan arah ketika persetujuan spontan melemah.
Oleh Edward Said kata intelektual itu diasosiasikan pada orientalis. Para pengkaji Timur itu ditilik sebagai penasehat pejabat kolonial. Dengan masukan-masukan mereka, para pejabat kolonial dapat menghegemoni Timur. Pihak-pihak terjajah ditundukkan oleh kekuasaan pejabat kolonial yang ditopang oleh pengetahuan orientalis. Andai ketundukan kaum bumiputera berkurang, pihak kolonial telah menyiapkan aparat keamanan untuk berjaga-jaga menghadapi kondisi tanpa pijakan dan komando.
Apa yang dilakukan para orientalis itu, menurut Said, merupakan hegemoni kultural: mempengaruhi budaya tanpa koersi namun tanpa penolakan. “Hegemoni atau hasil hegemoni kulturallah yang memberi kelanggengan dan kekuatan pada Orientalisme. Orientalisme tak jauh dari pernyataan Denis Hay, yaitu gagasan Eropa, gagasan kolektif yang mengidentifikasi ‘kami’ Eropa lawan semua non-Eropa, bahkan bisa dikatakan komponen utama kebudayaan Eropa suatu hegemoni budaya di dalam dan di luar Eropa: idea tentang identatitas Eropa yang unggul dibandingkan dengan orang-orang dan budaya-budaya non-Eropa ini”.
Orientalisme, dengan demikian, menghegemoni budaya dunia dengan gagasan tentang keunggulan Eropa ketimbang yang lain. Dia menentukan yang ordinan dan yang subordinan. Kebenaran dan kesalahan pun dipatok oleh pengetahuan yang dihasilkannya. Dengan pengetahuan berikut sistem kebenarannya itu, Orientalisme berkuasa di dunia.
Mengenai pengetahuan atau kebenaran dan kuasa, Said menggunakan gagasan-gagasan Michel Foucault. Filsuf dan sejarawann asal Perancis itu mendefisinisikan kebenaran (truth) sebagai “Rangkaian peraturan yang memisahkan yang benar dan yang salah, dan efek tertentu dari kuasa dilekatkan pada yang benar.”.
Kebenaran, dengan kata lain, adalah suatu kriteria (criterium). Ia ukuran yang menentukan. Pasca penentuan, sang penentu menganugerahkan kuasa bagi entitas yang ditentukan. Kebenaran dengan begitu terkait erat dengan kuasa. Kebenaran dan kuasa berhubungan timbal balik. Keduanya saling menghasilkan dan saling mempertahankan, membentuk apa yang disebut Foucault sebagai rezim kebenaran (a regime of truth).
Dalam pandangan Said, Orientalisme tak lain dari rezim kebenaran yang bernuansa kekuasaan. “Menyatakan bahwa Orientalisme modern merupakan aspek penting dari Imperialisme dan Kolonialisme bukanlah hal yang terlalu diperdebatkan.“ kata profesor sastra Inggris Universitas Columbia itu. Mudah disepakati bahwa Orientalisme memproduksi kebenaran dan pengetahuan untuk menopang kekuasaan Imperilisme dan Kolonialisme.
Di Hindia Belanda, keberadaan C. Snouck Hurgronje sebagai peneliti oriental sekaligus penasehat pemerintah kolonial merupakan salah satu bukti yang dapat menguatkan pernyataan Said tersebut. Dia mempelajari jiwa dan hal-hal yang dipelajari oleh pribumi Hindia Belanda. “Ilmu kami sebanyak mungkin berfaedah bagi pemerintah dan sesuai dengan kedudukan Belanda sebagai negara kolonial,” katanya.

Yang dapat digarisbawahi dari kenyataan tersebut adalah: objektivitas kebenaran pengetahuan Orientalisme perlu dipertanyakan, mengingat perselingkuhannya dengan kekuasaan pihak kolonial dan imperial. Disamping itu, kebenaran pengetahuan Orientalisme berselimut mitos: mitos tentang ketunggalan Timur yang diidentifikasi dengan hal-hal negatif, pasif, lemah, feminim dan terbelakang. Di tulisan berjudul Shattered Myths, Said menunjukkan runtuhnya mitologi orientalis tersebut dengan fenomena perlawanan masyarakat Arab di Perang antara Arab-Israel tahun 1973 yang menunjukkan antitesis dari identifikasi orientalis tentang Timur tersebut.

0 comments:

Post a Comment