Oksidentalisme merupakan antitesis
Orientalisme. Para oksidentalis mengkritik orientalisme sekaligus mengkaji
ulang Barat. Ibarat permainan bola, Oksidentalisme melakukan serangan balik
terhadap Orientalisme. Para penyerang dari kubu Oksidentalis antara lain Edward
Said, Anouar Abdel-Malek dan Hassan Hanafi.
Edward Said membombardir
Orientalisme dengan pemikiran Antonio Gramci tentang hegemoni kultural dan
gagasan Michel Foucault tentang pengetahuan/kekuasaan.
Di buku The Modern Prince (1957),
Antonio Gramcy menyatakan bahwa hegemoni dioperasikan dalam suatu
masyarakat oleh kelas penguasa (ruling class) yang didukung oleh kaum
intelektual, pejabat dan aparat koersif (keamanan). Lebih spesifik dia
mencatat:
Intelektual adalah 'petugas'nya kelas penguasa untuk
menjalankan fungsi subordinat hegemoni sosial dan pemerintahan politik, yaitu
(1) persetujuan 'spontan' dari massa besar terhadap kehidupan sosial yang
dikendalikan kelas penguasa, persetujuan yang muncul secara historis dari
wibawa (dan dari kepercayaan); (2) aparat koersif negara, yang secara 'legal'
memastikan disiplin kelompok-kelompok yang tidak 'setuju' baik secara aktif
maupun secara pasif, tetapi dibentuk untuk seluruh masyarakat dalam
mengantisipasi saat-saat krisis perintah dan arah ketika persetujuan spontan
melemah.
Oleh Edward Said kata intelektual
itu diasosiasikan pada orientalis. Para pengkaji Timur itu ditilik sebagai
penasehat pejabat kolonial. Dengan masukan-masukan mereka, para pejabat
kolonial dapat menghegemoni Timur. Pihak-pihak terjajah ditundukkan oleh kekuasaan
pejabat kolonial yang ditopang oleh pengetahuan orientalis. Andai ketundukan
kaum bumiputera berkurang, pihak kolonial telah menyiapkan aparat keamanan
untuk berjaga-jaga menghadapi kondisi tanpa pijakan dan komando.
Apa yang dilakukan para orientalis itu,
menurut Said, merupakan hegemoni kultural: mempengaruhi budaya tanpa koersi
namun tanpa penolakan. “Hegemoni atau hasil hegemoni kulturallah yang memberi
kelanggengan dan kekuatan pada Orientalisme. Orientalisme tak jauh dari
pernyataan Denis Hay, yaitu gagasan Eropa, gagasan kolektif yang
mengidentifikasi ‘kami’ Eropa lawan semua non-Eropa, bahkan bisa dikatakan
komponen utama kebudayaan Eropa suatu hegemoni budaya di dalam dan di luar
Eropa: idea tentang identatitas Eropa yang unggul dibandingkan dengan
orang-orang dan budaya-budaya non-Eropa ini”.
Orientalisme, dengan demikian,
menghegemoni budaya dunia dengan gagasan tentang keunggulan Eropa ketimbang
yang lain. Dia menentukan yang ordinan dan yang subordinan. Kebenaran dan
kesalahan pun dipatok oleh pengetahuan yang dihasilkannya. Dengan pengetahuan
berikut sistem kebenarannya itu, Orientalisme berkuasa di dunia.
Mengenai pengetahuan atau kebenaran
dan kuasa, Said menggunakan gagasan-gagasan Michel Foucault. Filsuf dan
sejarawann asal Perancis itu mendefisinisikan kebenaran (truth) sebagai
“Rangkaian peraturan yang memisahkan yang benar dan yang salah, dan efek
tertentu dari kuasa dilekatkan pada yang benar.”.
Kebenaran, dengan kata lain, adalah
suatu kriteria (criterium). Ia ukuran yang menentukan. Pasca penentuan,
sang penentu menganugerahkan kuasa bagi entitas yang ditentukan. Kebenaran
dengan begitu terkait erat dengan kuasa. Kebenaran dan kuasa berhubungan timbal
balik. Keduanya saling menghasilkan dan saling mempertahankan, membentuk apa
yang disebut Foucault sebagai rezim kebenaran (a regime of truth).
Dalam pandangan Said, Orientalisme
tak lain dari rezim kebenaran yang bernuansa kekuasaan. “Menyatakan bahwa
Orientalisme modern merupakan aspek penting dari Imperialisme dan Kolonialisme
bukanlah hal yang terlalu diperdebatkan.“ kata profesor
sastra Inggris Universitas Columbia itu. Mudah disepakati bahwa Orientalisme
memproduksi kebenaran dan pengetahuan untuk menopang kekuasaan Imperilisme dan
Kolonialisme.
Di Hindia Belanda, keberadaan C. Snouck
Hurgronje sebagai peneliti oriental sekaligus penasehat pemerintah kolonial
merupakan salah satu bukti yang dapat menguatkan pernyataan Said tersebut. Dia
mempelajari jiwa dan hal-hal yang dipelajari oleh pribumi Hindia Belanda. “Ilmu
kami sebanyak mungkin berfaedah bagi pemerintah dan sesuai dengan kedudukan
Belanda sebagai negara kolonial,” katanya.
Yang dapat digarisbawahi dari
kenyataan tersebut adalah: objektivitas kebenaran pengetahuan Orientalisme
perlu dipertanyakan, mengingat perselingkuhannya dengan kekuasaan pihak
kolonial dan imperial. Disamping itu, kebenaran pengetahuan Orientalisme
berselimut mitos: mitos tentang ketunggalan Timur yang diidentifikasi dengan
hal-hal negatif, pasif, lemah, feminim dan terbelakang. Di tulisan berjudul Shattered
Myths, Said menunjukkan runtuhnya mitologi orientalis tersebut dengan
fenomena perlawanan masyarakat Arab di Perang antara Arab-Israel tahun 1973
yang menunjukkan antitesis dari identifikasi orientalis tentang Timur tersebut.
0 comments:
Post a Comment