Menyusun Langkah Baru

5/18/15
A.    Petisi Sutarjo
Langkah-langkah baru dalam pergerakan nasional perlu dilakukan karena terjadi perubahan situasi. Gerakan nonkoperatif jelas tidak mendapat jalan, sedangkan gerakan koperatif harus ada di bawah persetujuan Pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda. Partai-partai politik masih ada kesempatan untuk melakukan aksi bersama sehingga muncullah apa yang disebut dengan Petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936.

Sutarjo mengajukan usul kepada pemerintah Hindia Belanda agar diadakan Konferensi Kerajaan Belanda yang membahas tentang status politik yang berupa otonomi meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Hal ini dimaksudkan agar tercapai kerjasama yang mendorong rakyat untuk memajukan negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan.
Petisi ini mendapatkan kritikan dari beberapa pihak, ada yang mengatakan itu seperti pengemis yang minta dikasihani, sedangkan pihak lain menganggap petisi itu mengurangi perjuangan otonomi yang dilakukan pihak lain. Meskipun dalam Dewan Rakyat lebih banyak yang menyetujui petisi itu, tetapi pemerintah menganggap masih terlalu prematur dan otonomi yang diusulkan dianggap tidak wajar. Dengan kata lain, pemerintah tidak menginginkan adanya perubahan yang dapat membuka peluang yang mengancam runtuhnya kolonial.
B.     Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan “Indonesia Berparlemen”
Keputusan penolakan Petisi Sutarjo tersebut sangat mengecewakan para pemimpin nasional. Untuk mengatasi krisis kekuatan nasional ini, M.H. Thamrin mencari jalan keluar yang ditempuhnya melalui pembentukan organisasi baru yaitu mendirikan Gapi pada bulan Mei 1939.
Gapi hendak melaksanakan aksi, menuntut pemerintahan dengan mengadakan parlemen yang disusun dan dipilih oleh rakyat Indonesia dan kepada parlemen itulah pemerintah harus bertanggungjawab. Jika tuntutan Gapi diluluskan oleh pemerintah, maka Gapi akan mengajak rakyat untuk mengimbangi kemurahan hati pemerintah tersebut.
Pada tanggal 24 Desember 1939, Gapi membentuk sebuah badan Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang bertujuan untuk membahagiakan dan mensentosakan penduduk. Sejak saat itu kegiatan Gapi dilaksanakan oleh KRI. Akan tetapi “Indonesia Berparlemen” tetap menjadi tujuan utama Gapi, selain memajukan masalah-masalah sosial–ekonomi. Namun pemerintah hanya memberikan reaksi dingin terhadap tuntutan Gapi. Dan sangat disayangkan karena ia tidak akan memberikan perubahan sebelum perang selesai.
KRI kemudian berubah menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI) yang dianggap badan perwakilan segenap rakyat Indonsia yang akan mencapai kesentosaan, kemuliaan berdasarkan demokrasi. MRI dianggap sebagai bentuk organisasi yang paling maju, karena di dalamnya tidak hanya organisasi politik, tetapi juga organisasi sosial dan keagamaan.

Satu-satunya tuntutan kaum nasionalis yang dipenuhi oleh pemerintah ialah pembentukan komisi Visman dalam bulan Maret 1941. Panitia bertugas menyelidiki sampai manakah kehendak rakyat Indonesia sehubungan dengan perubahan pemerintahan. Namun komisi ini sesungguhnya hanyalah memberikan kabar angin kaum nasionalis dan tidak sungguh-sungguh ingin mengadakan perubahan ketatanegaraan bagi Indonesia.

0 comments:

Post a Comment