A.
Petisi Sutarjo
Langkah-langkah
baru dalam pergerakan nasional perlu dilakukan karena terjadi perubahan
situasi. Gerakan nonkoperatif jelas tidak mendapat jalan, sedangkan gerakan
koperatif harus ada di bawah persetujuan Pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan
Belanda. Partai-partai politik masih ada kesempatan untuk melakukan aksi bersama
sehingga muncullah apa yang disebut dengan Petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli
1936.
Sutarjo
mengajukan usul kepada pemerintah Hindia Belanda agar diadakan Konferensi
Kerajaan Belanda yang membahas tentang status politik yang berupa otonomi
meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda.
Hal ini dimaksudkan agar tercapai kerjasama yang mendorong rakyat untuk memajukan
negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan.
Petisi
ini mendapatkan kritikan dari beberapa pihak, ada yang mengatakan itu seperti pengemis
yang minta dikasihani, sedangkan pihak lain menganggap petisi itu mengurangi
perjuangan otonomi yang dilakukan pihak lain. Meskipun dalam Dewan Rakyat lebih
banyak yang menyetujui petisi itu, tetapi pemerintah menganggap masih terlalu
prematur dan otonomi yang diusulkan dianggap tidak wajar. Dengan kata lain,
pemerintah tidak menginginkan adanya perubahan yang dapat membuka peluang yang
mengancam runtuhnya kolonial.
B.
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan
“Indonesia Berparlemen”
Keputusan
penolakan Petisi Sutarjo tersebut sangat mengecewakan para pemimpin nasional.
Untuk mengatasi krisis kekuatan nasional ini, M.H. Thamrin mencari jalan keluar
yang ditempuhnya melalui pembentukan organisasi baru yaitu mendirikan Gapi pada
bulan Mei 1939.
Gapi
hendak melaksanakan aksi, menuntut pemerintahan dengan mengadakan parlemen yang
disusun dan dipilih oleh rakyat Indonesia dan kepada parlemen itulah pemerintah
harus bertanggungjawab. Jika tuntutan Gapi diluluskan oleh pemerintah, maka Gapi
akan mengajak rakyat untuk mengimbangi kemurahan hati pemerintah tersebut.
Pada
tanggal 24 Desember 1939, Gapi membentuk sebuah badan Kongres Rakyat Indonesia
(KRI) yang bertujuan untuk membahagiakan dan mensentosakan penduduk. Sejak saat
itu kegiatan Gapi dilaksanakan oleh KRI. Akan tetapi “Indonesia Berparlemen”
tetap menjadi tujuan utama Gapi, selain memajukan masalah-masalah sosial–ekonomi.
Namun pemerintah hanya memberikan reaksi dingin terhadap tuntutan Gapi. Dan
sangat disayangkan karena ia tidak akan memberikan perubahan sebelum perang
selesai.
KRI
kemudian berubah menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI) yang dianggap badan
perwakilan segenap rakyat Indonsia yang akan mencapai kesentosaan, kemuliaan
berdasarkan demokrasi. MRI dianggap sebagai bentuk organisasi yang paling maju,
karena di dalamnya tidak hanya organisasi politik, tetapi juga organisasi sosial
dan keagamaan.
Satu-satunya
tuntutan kaum nasionalis yang dipenuhi oleh pemerintah ialah pembentukan komisi
Visman dalam bulan Maret 1941. Panitia bertugas menyelidiki sampai manakah
kehendak rakyat Indonesia sehubungan dengan perubahan pemerintahan. Namun
komisi ini sesungguhnya hanyalah memberikan kabar angin kaum nasionalis dan
tidak sungguh-sungguh ingin mengadakan perubahan ketatanegaraan bagi Indonesia.
0 comments:
Post a Comment