Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan
Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang
ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).
Nama gerakan Wahabi
sesungguhnya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang
diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan
dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten
dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.
Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:
a.
Dibolehkan dan harus disembah
hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah
musyrik.
b.
Umat Islam yang meminta safaat
kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang dipandang memiliki
dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan;
c.
Menyebut-nyebut nama Nabi,
wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a adalah termasuk perbuatan
syirik;
d.
Mengikuti shalat berjamaah
adalah merupakan kewajiban;
e.
Merokok dan segala bentuk candu
adalah haram;
f.
Memberantas segala bentuk
kemunkaran dan ke¬maksiatan;
g.
Umat Islam, harus hidup
sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.
Sifat gerakan
Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang sanggup
membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap dalam
keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa’ud dan Abdul
Azis Ibnu Sa’ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang
keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat
di Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.
Paham dan gerakan
Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak
Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad
Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan
pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.
Sesampainya di
Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di Minangkabau baru memeluk
Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang sejati.
Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya masing-masing mereka
mencoba memberikan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di Sumanik mendapat tantangan
hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin mendapat
perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat.
Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat halangan dan
tantangan.
Sementara itu para
penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan Padri ini, ingin
membuktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam perjuangan
mereka untuk melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni. Bertempat di
Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan
sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-¬minuman
keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan
para pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu
merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari’at Islam secara keras.
Tentu saja
tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala
persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang,
tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh
tersebut untuk membubarkan pesta ‘maksiat’ yang diselenggarakan oleh golongan
penghulu (penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut
dengan per¬tempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil
dan mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak,
akhirnya di¬menangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh,
berarti permulaan peperangan Padri.
Dalam perjanjian
dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan bahwa tanggal
11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat Sumatera Barat
secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal serangan rakyat
Minangkabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami kemenangan, terutama
di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda ditempatkan untuk
melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh Letnan Kolonel
Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat, di daerah
Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali serdadu
Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan beberapa
orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu. Karena
semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan anak
buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk
bisa kembali ke Bukittinggi.
0 comments:
Post a Comment