Pemurnian Islam Di Mingkabau

5/16/15
Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).
Nama gerakan Wahabi sesungguhnya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.
Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:
a.    Dibolehkan dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik.
b.    Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan;
c.    Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a adalah termasuk perbuatan syirik;
d.   Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
e.    Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
f.     Memberantas segala bentuk kemunkaran dan ke¬maksiatan;
g.    Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.
            Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa’ud dan Abdul Azis Ibnu Sa’ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.
            Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.
            Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin mendapat perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat. Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat halangan dan tantangan.
            Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan Padri ini, ingin membuktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni. Bertempat di Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-¬minuman keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari’at Islam secara keras.
            Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang, tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh tersebut untuk membubarkan pesta ‘maksiat’ yang diselenggarakan oleh golongan penghulu (penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut dengan per¬tempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya di¬menangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti permulaan peperangan Padri.

            Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat Sumatera Barat secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal serangan rakyat Minangkabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami kemenangan, terutama di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda ditempatkan untuk melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh Letnan Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat, di daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan beberapa orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu. Karena semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan anak buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk bisa kembali ke Bukittinggi.

0 comments:

Post a Comment