Pada akhir bulan Maret 1949, tiga orang sahabat yatu Bapak Z.Arifin Usman, Bapak Marah Syafei Sahab dan
Bapak Enggak Bahauddin berbicara mengenai nasib dunia pendidikan di daerah
pendudukan Belanda khususnya di Kota Padang. Di Kota Padang saat itu ada
sekolah-sekolah Belanda yang setaraf dengan SD dan SMP, tetapi menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Hal ini tidak sesuai dengan aspirasi
kaum remaja “republikein”.
Kemudian muncul ide untuk mendirikan sekolah lanjutan “republikein” di
bekas sekolah Normal Islam P.G.A.I di Jati Padang Timur. Gedung ini ini cukup
luas untuk dijadikan sekolah SMP dan SMA sekaligus. Pada saat itu juga mereka memperoleh
nama yang menarik untuk sekolah tersebut, yaitu “PERMINDO”, singkatan dari
“Perguruan Menengah Indonesia”. Gagasan ini kemudian dilanjutkan kepada Bapak
H. Wahab Amin selaku sekretaris P.G.A.I dan Bapak C.B. Tampubolon yang
merupakan seorang pedagang swasta. Mengenai izin pendirian sekolah menurut
Bapak H. Wahab Amin tidak perlu khawatir karena gedung P.G.A.I ini dipakai untuk sekolah yang telah
mendapatkan izin sejak “tempo doeloe”, jadi bisa dilanjutkan dengan nama
PERMINDO.
PERMINDO terbagi atas 6 tingkat kelas. Dari kelas 1 sampai kelas 3
setingkat dengan SMP, dan dari kelas 4 sampai kelas 6 setingkat dengan SMA
dengan memakai kurikulum RI. Pengumuman penerimaan murid sekolah ini dilakukan
melalui iklan koran Penerangan Padang. Sedangkan pendaftarannya dilakukan di Kantor
percetakan Gazaira di sebelah bioskop Rio dengan biaya awal sebanyak sepuluh
gulden setiap murid. Uang ini kemudian digunakan untuk biaya perlengkapan yang
berhubungan langsung dengan kegiatan operasional. Selain itu ada juga bantuan dari masayarakat
dan juga dari Bapak C.B Tampubolon sendiri untuk perbaikan gedung dan
perlengkapan sekolah. Tenaga guru yang digunakan ialah dari guru sekolah
menengah yang pulang dari pengungsian termasuk para pegawai negeri yang
dianggap mampu mengajar di sekolah lanjutan. Dengan demikian dimulailah proses
belajar-mengajar di sekolah “republikein” ini tepat pada hari Senin tanggal 2
Mei 1949.
PERMINDO sebagai sarana pendidikan di Kota Padang yang memakai nama
Indonesia dan bahasa pengantar Indonesia saat itu dapat dikatakan mampu bertahan
cukup kuat di bawah tekanan Belanda. Misalnya setelah perundingan Roem-Royen,
para guru dan pelajarnya turun ke jalan melakukan “pawai” yang tujuan
sebenarnya adalah memperingatkan dan memberikan tekanan psikologis kepada
“golongan etnis” dan rakyat yang terbuai dengan pemerintahan Belanda. Selain
itu mereka juga bersikeras melaksanakan perayaan Kemerdekaan Indonesia ke-IV pada
tanggal 17 Agustus 1949 meskipun diintimidasi Belanda yang mengerahkan mobil
panser mereka saat upacara berlansung. Tidak hanya itu, sebelum perayaan
kemerdekaan dimulai salah seorang pelajar pejuang PERMINDO ditangkap Belanda karena berani
mengibarkan bendera Merah Putih di depan rumahnya. Pada hari itu juga, PERMINDO
menerbitkan majalah “SISWA MERDEKA” edisi pertama. Pada mulanya majalah
tersebut hanya tersebar di kalangan para pelajar. Namun, pada edisi kedua
majalah tersebut telah beredar kemana-mana. Sementara menunggu edisi ke-3,
majalah tersebut telah disita penguasa setempat bersamaan dengan ditahannya dua
orang pelajar pejuang PERMINDO. Akhirnya pihak penguasa melarang penerbitan
majalah tersebut dengan alasan tergolong pada selebaran gelap yang tidak
memiliki izin terbit.
Usaha PERMINDO sebagai salah satu wadah perjuangan nasional telah memulai
dukungannya untuk menegakkan negara RI di Kota Padang sejak 7 Mei 1949 sampai
Kota Padang kembali menjadi ibukota Provinsi Sumbar pada bulan Maret 1950.
Perilaku para pelajar pejuang PERMINDO yang bersikap konsisten itu telah dapat
merangkul penduduk Kota Padang. Pengaruhnya telah menghidupkan kembali semangat
spontanitas penyambutan kemerdekaan RI.
Menjelang pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, PERMINDO telah bersiap-siap
untuk pindah gedung menjadi dua sekolah yang terpisah, yakni SMP dan SMA. Sehari setelah pengangkatan Dr. Rasyidin
sebagai walikota pada tanggal 1Januari 1950, PERMINDO akhirnya pindah ke
gedung-gedung sekolah negeri di Belantung (Jl. Sudirman sekarang). Gedung ini
dulunya ditempati oleh sekolah-sekolah
Belanda seperti MULO dan Alg.Europeesche Large School. Mereka harus tutup
dikarenakan peraturan Kementrian P & K yang menyatakan semua sekolah negeri
harus berbahasa pengantar Indonesia.
Pada tanggal 1 April 1950 Kementrian P & K resmi menyatakan PERMINDO
sebagai SMP dan SMA negeri di Kota Padang. Kedua sekolah tersebut adalah
sekolah lanjutan negeri pertama semenjak pemulihan kekuasaan RI di Kota Padang
meski tidak lagi memakai nama PERMINDO. Karena itu tidak mengejutkan jika
SMA-PERMINDO memiliki keterkaitan dengan SMA/SMA-I/II negeri dan SMA Ganesa.
Demikian pula antara SMP-PERMINDO dengan SMP-I/II/III negeri. Karena setelah
melalui proses yang berkesinambungan, para guru dan muridnya yang telah
berpindah-pindah dan bekerja sebagai guru setelah tamat, kemudian menjadi
penerus dalam pengembangan sekolah-sekolah baru.
Pada tahun 1986 Kotamadya Padang telah memberi nama salah satu jalan dengan
nama PERMINDO. Hal ini disusul pula oleh bangunan sebuah TUGU PERJUANGAN
PERMINDO sebagai kenang-kenangan sejarah Kemerdekaan RI di Kota Padang, yang
memiliki arti khusus bagi generasi penerus PERMINDO.